Minggu, 13 Maret 2011

Hukum Tidur Setelah Shubuh

حكم النوم بعد الفجر وبعد العصر

Hukum Tidur Setelah Subuh dan Setelah Ashar

السؤال : هل هناك حكم يتعلق بالنوم بعد الفجر؟

Pertanyaan, “Apa hukum tidur lagi setelah shalat hubuh?”

الجواب :
الحمد لله
بالنسبة للنوم بعد صلاة الإنسان للفجر ، فلم يرد نص يمنع منه ، فهو باق على الأصل وهو الإباحة .

Jawaban, “Untuk tidur lagi setelah seorang itu mengerjakan shalat shubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya sehingga hukum tidur setelah shalat subuh adalah sebagaimana hukum asal semua perkara non ibadah yaitu mubah.

ولكن كان من هدي النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه أنهم إذا صلوا الفجر جلسوا في مصلاهم حتى تطلع الشمس ،

Akan tetapi yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah setelah mereka melaksanakan shalat subuh mereka duduk di masjid hingga matahari terbit.

كما ثبت في ” صحيح مسلم 1/463 رقم 670 ” من حديث سماك بن حرب قال : ( قلت لجابر بن سمرة أكنت تجالس رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟

Dari Sammak bin Harb, aku bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah anda sering menemani duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

قال : نعم ، كثيراً ، كان لا يقوم من مصلاه الذي يصلي فيه الصبح – أو الغداة – حتى تطلع الشمس ، فإذا طلعت الشمس قام ؛ وكانوا يتحدثون ، فيأخذون في أمر الجاهلية ، فيضحكون ويتبسم .

Jawaban Jabir bin Samurah, “Ya, sering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan tempat beliau menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit maka beliau pun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Terkadang para sahabat berbincang-bincang tentang masa jahiliah yang telah mereka lalui lalu mereka tertawa-tawa sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan hal tersebut” [HR Muslim].

وأيضا فقد سأل النبي صلى الله عليه وسلم ربه أن يبارك لأمته في بكورها ،

Di samping itu Nabi berdoa kepada Allah agar Allah melimpahkan keberkahan untuk umatnya di waktu pagi.

كما في حديث صخر الغامدي قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( اللهم بارك لأمتي في بكورها )

Dari Shakhr al Ghamidi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi”.

قال : وكان إذا بعث سرية أو جيشاً بعثهم في أول النهار ، وكان صخراً رجلاً تاجراً ، وكان يبعث تجارته أول النهار ، فأثرى وأصاب مالاً .

Skakhr al Ghamidi, “Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengirim pasukan perang adalah mengirim mereka di waktu pagi”.
Shakhr al Ghamidi adalah seorang pedagang. Kebiasaan beliau jika mengirim ekspedisi dagang adalah memberangkatkannya di waktu pagi. Akhirnya beliau pun menjadi kaya dan mendapatkan harta yang banyak.

خرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه بإسناد فيه جهالة ، وجاء ما يشهد له من حديث علي وابن عمر وابن عباس وابن مسعود وغيرهم – رضي الله عنهم جميعاً -

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah namun ada salah satu perawi yang tidak diketahui. Akan tetapi hadits ini memiliki penguat dari Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dll.

ومن هنا كره بعض السلف النوم بعد الفجر ،

Bertitik tolak dari hal di atas, sebagian ulama membenci tidur setelah shalat subuh.

فقد أخرج ابن أبي شيبة في مصنفه ( 5/222 رقم 25442 ) بإسناد صحيح عن عروة بن الزبير أنه قال : كان الزبير ينهى بنيه عن التصبح ( وهو النّوم في الصّباح ) ،

Dari ‘Urwahin bin Zubair, beliau mengatakan, “Dulu Zubair melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu pagi”

قال عروة : إني لأسمع أن الرجل يتصبح فأزهد فيه.

Urwah mengatakan, “Sungguh jika aku mendengar bahwa seorang itu tidur di waktu pagi maka aku pun merasa tidak suka dengan dirinya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25442 dengan sanad yang sahih].

والخلاصة أن الأولى بالإنسان أن يقضي هذا الوقت فيما يعود عليه بالنفع في الدنيا والآخرة ، وإن نام فيه ليتقوى على عمله فلا بأس ، لا سيما إذا كان لا يتيسر له النوم في غير هذا الوقت من النهار ،

Kesimpulannya, yang paling afdhol adalah menggunakan waktu pagi untuk aktivitas yang bermanfaat di dunia ataupun di akherat. Namun jika ada seorang yang memilih untuk tidur di setelah shalat subuh agar bisa bekerja dengan penuh vitalitas maka hukumnya adalah tidak mengapa, terutama jika tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk tidur siang dan hanya mungkin tidur di waktu pagi.

وخرج ابن أبي شيبة في مصنفه ( 5/223 رقم 25454 ) من حديث أبي يزيد المديني قال : غدا عمر على صهيب فوجده متصبّحاً ، فقعد حتى استيقظ ، فقال صهيب : أمير المؤمنين قاعد على مقعدته ، وصهيب نائم متصبّح !! فقال له عمر : ما كنت أحب أن تدع نومة ترفق بك .

Dari Abu Yazid al Madini, “Pada suatu pagi Umar pergi ke rumah Shuhaib namun Shuhaib sedang tidur pagi. Umar pun duduk menunggu sehingga Shuhaib bangun”. Ketika bangun Shuhaib berkomentar, “Amir mukminin duduk menunggu sedangkan Shuhaib tidur pagi”. Umar mengatakan, “Aku tidak suka jika kau tinggalkan tidur yang bermanfaat bagimu”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25454].

وأما النوم بعد العصر فهو جائز ومباح أيضاً ، ولم يصحّ عن النبي صلى الله عليه وسلم نهي عن النوم في هذا الوقت .

Sedangkan tidur setelah shalat Ashar hukumnya adalah juga mubah. Tidak terdapat hadits shahih dari Nabi yang berisi larangan tidur setelah Ashar.

وأما ما ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ” من نام بعد العصر فاختلس عقله فلا يلومن إلا نفسه ” فهو حديث باطل لا يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم انظر : ” السلسة الضعيفة ، رقم : 39 “ والله أعلم .

Sedangkan hadits dengan redaksi, “Barang siapa yang tidur setelah shalat Ashar lalu akalnya rusak maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri” adalah hadits dengan kualitas bathil, tidak shahih dari Nabi. Silahkan simak penjelasan tentang kelemahan hadits tersebut di Silsilah Shahihah no 39

Sumber:

http://www.islam-qa.com/ar/ref/2063

Artikel www.ustadzaris.com

Kamis, 10 Maret 2011

Peringatan maulid nabi bentuk pengagungan terhadap Nabi Muhammad ?

Oleh: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين, أما بعد:

Kadang-kadang sebagian kaum muslim yang berpendapat diperbolehkannya memperingati maulid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersandarkan pada beberapa syubuhat (alasan-alasan rancu), diantaranya:

1. Anggapan mereka bahwa peringatan tersebut merupakan bentuk pengagungan terhadap Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Jawaban: "Sesungguhnya pengagungan terhadap beliau shallallahu 'alaihi wasallam dengan cara menta'ati beliau shallallahu 'alaihi wasallam, mengerjakan perintah beliau shallallahu 'alaihi wasallam, menjauhi larangan beliau shallallahu 'alaihi wasallam, bukan pengagungan beliau shallallahu 'alaihi wasallam dengan perbuatan bid'ah atau khurafat atau maksiat.

Para shahabat Nabi Muhammad radhiyallahu 'anhum adalah manusia-manusia yang paling mengagungkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dari seluruh manusia.

Sebagaimana perkataan 'Urwah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu kepada orang-orang Quraisy:

أَىْ قَوْمِ ، وَاللَّهِ لَقَدْ وَفَدْتُ عَلَى الْمُلُوكِ ، وَوَفَدْتُ عَلَى قَيْصَرَ وَكِسْرَى وَالنَّجَاشِىِّ وَاللَّهِ إِنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ ، يُعَظِّمُهُ أَصْحَابُهُ مَا يُعَظِّمُ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ - صلى الله عليه وسلم - مُحَمَّدًا ، وَاللَّهِ إِنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إِلاَّ وَقَعَتْ فِى كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ ، فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ ، وَإِذَا أَمَرَهُمُ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ ، وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ ، وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ …،

Artinya: "Wahai Kaum, demi Allah, aku telah mendatangi para raja, Kaisar Romawi dan Kisra serta An Najasyi, demi Allah tidak pernah aku lihat seorangpun dari raja diagungkan oleh para pengikutnya lebih daripada pengagungan para shahabat Muhammad kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, demi Allah, tidaklah beliau meludah kecuali ludah itu ditelapak tangan salah satu diantara mereka (para shahabat), lalu dengan ludah tersebut ia mengusap wajah dan tubuhnya. Dan jika beliau perintahkan mereka maka langsung bergegas mereka kerjakan perintah beliau tersebut. Jika beliau berwudhu-' mereka hampir-hampir saling membunuh agar bisa berwudhu-' dari bekas air wudhu-' beliau. Jika berbicara, mereka merendahkan suara dihadapan beliau. Dan mereka tidak memandang beliau dengan leluasa karena penghormatan kepada beliau". HR. Bukhari, no. 2731 .

TETAPI, DENGAN PENGAGUNGAN SEDEMIKIAN RUPA MEREKA (PARA SHAHABAT radhiyallahu 'anhum) TIDAK MEMPERINGATI HARI KELAHIRAN BELIAU shallallahu 'alaihi wasallam DAN TIDAK BERKUMPUL ATASNYA.

2. Beralasan bahwa memperingati maulid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah amalan mayoritas kaum muslim di kebanyakan negara.

Jawaban: "Bahwa hujjah (landasan untuk beramal) adalah berdasarkan apa yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan yang telah datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah pelarangan berbuat bid'ah secara umum, dan peringatan maulid ini termasuk dari bid'ah tersebut.

Dan amalan manusia jika berselisihan dengan dalil maka bukanlah sebagai landasan dari sebuah amal shalih, meskipun mereka yang melakukannya jumlahnya banyak, Allah Ta'ala berfirman:

{وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ }

Artinya: "Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan mereka tidak lain hanyalah mengikuti perasangka belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)". QS. Al An'am: 116.

3. Mereka mengatakan: "Peringatan maulid menumbuhkan perasaan untuk selalu mengingat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Jawaban: "Bagi seorang muslim mengingat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu berulang, dan selalu ingat dengan beliau setiap kali disebutkan nama beliau shallallahu 'alaihi wasallam, baik ketika adzan, iqamah, khotbah, setiap kali seorang muslim mengucapkannya setelah berwudhu', di dalam shalat, setiap kali bershalawat, setiap kali mengerjakan amal shalih yang wajib ataupun yang sunnah yang disyari'atkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, jadi ia selalu mengingat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Demikianlah seorang muslim selalu memperbarahui ingatannya terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan selalu berkaitan dengan beliau shallallahu 'alaihi wasallam sepanjang siang dan malam, selama hidupnya dengan cara yang disyari'atkan oleh Allah shallallahu 'alaihi wasallam, tidak mengingatnya hanya pada hari kelahiran beliau saja.

Dan jika hal tersebut termasuk perbuatan bid'ah dan menyelisihi sunnah beliau shallallahu 'alaihi wasallam maka hal tersebutpun menjauhkannya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan beliaupun berlepas diri darinya.

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak membutuhkan peringatan yang bid'ah ini, karena Allah Ta'ala sudah mensyari'atkan untuk mengagungkan beliau dan memuliakan beliau, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

{ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ}

Artinya: "Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?". QS. Asy Syarh: 4.

Jadi, tidaklah disebut nama Allah Ta'ala ketika adzan, iqamah atau khuthbah kecuali disebutkan nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam setelahnya dan cukuplah itu sebagai pengagungan dan kecintaan dan pembaharuan untuk selalu mengingatnya dan perintah untuk selalu mengikutinya.

Allah Ta'ala di dalam Al Quran tidak memuji beliau shallalahu 'alaihi wasallam dengan menyebutkan hari kelahiran beliau shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi Allah Ta'ala memuji beliau shallallahu 'alihi wasallam dengan menyebutkan pengutusan beliau (sebagai Nabi dan Rasul). Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ} [آل عمران: 164]

Artinya: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri". QS. Ali Imran: 164.

{هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ}

Artinya: "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka". QS. Al Jumah: 2.

4. Anggapan bahwa memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam telah diprakarsai oleh raja yang adil dan alim yang bermaksud dengannya mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Jawaban: "Sebuah perbuatan bid'ah tidak diterima walau dari siapapun. Baiknya niat tidak bisa menjadikan amalan buruk menjadi amalan shalih, dan keberadaan ia sebagai seorang raja yang alim dan adil tidak menunjukkan akan lepasnya ia dari sebuah kesalahan, artinya ia tidak ma'shum.

5. Anggapan bahwa perayaan maulid termasuk dari bid'ah hasanah karena menunjukkan rasa syukur kepada Allah atas keberadaan seorang Nabi yang mulia ini!

Jawaban: "Tidak ada di dalam sebuah perbuatan bid'ah sesuatu yang hasanah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

« مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ ».

Artinya: "Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru di dalam perkara kami ini yang bukan darinya maka ia (amalan tersebut) tertolak". HR. Bukhari, no. 2697.

«إِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ».

Artinya: "Sesungguhnya setiap bid'ah itu sesat." HR. Ahmad, 4/126 dan Tirmidzi, no. 2676.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghukumi atas seluruh bid'ah bahwasanya ia adalah sesat lalu datang si fulan dengan enaknya ia mengatakan: "Tidak semua bid'ah itu sesat, tapi ada bid'ah hasanah!"

Baca selengkapnya: http://moslemsunnah.wordpress.com/2011/02/14/nasehat-bagi-yang-mencintai-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-dengan-merayakan-maulid/

Minggu, 01 Agustus 2010

Niat Cukup dalam hati

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu wa ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Di tengah masyarakat muslim di negeri ini, sudah sangat ma’ruf perihal melafazhkan niat. Inilah ajaran yang sudah turun temurun diajarkan dan mendarah daging di tubuh umat. Silakan saja kita menoleh pada keseharian ibadah shalat, ada niat yang dilafazhkan semacam “usholli fardhu shubhi ...”. Begitu pula halnya dalam hal ibadah puasa, ada niat yang dilafazhkan semacam “nawaitu shouma ghodin”. Namun sudahkah kita meninjau kembali tentang ajaran dari pak kyai atau pak ustadz ini? Seperti inikah yang diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dalam setiap ibadah selain ikhlas lillahi Ta’ala, kita pun harus senantiasa mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Risalah singkat ini mudah-mudahan dapat membuka pikiran para pembaca rumayhso.com sekalian, apakah sudah benar praktek-praktek ibadah yang dilakukan selama ini. Semoga Allah memberi taufik.

Memang Niat Syarat Diterimanya Ibadah

Niat merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[1]

Selanjutnya kita akan melihat penjelasan Ibnu Taimiyah mengenai niat. Sengaja penulis bagi bertahap dalam beberapa point.

Kata Sepakat Ulama, Niat Cukup dalam Hati

Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya mengenai niat di awal berbagai ibadah seperti ketika mengawali shalat dan ibadah lainnya. Apakah niat ketika itu harus diucapkan di lisan semisal dengan ucapan “nawaitu ashumu” (saya berniat untuk puasa), atau “usholli” (saya berniat untuk shalat)? Apakah seperti itu wajib dilakukan?

Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah. Niat thoharoh (bersuci) seperti akan berwudhu, mandi, tayamum, niat shalat, puasa, haji dan zakat, menunaikan kafaroh, serta berbagai ibadah lainnya, niat tersebut tidak perlu dilafazhkan. Bahkan yang benar, letak niat adalah di hati dan bukan di lisan, inilah yang disepakati para ulama. Seandainya seseorang salah mengucapkan niat lewat lisannya, lalu berbeda dengan apa yang ada di hatinya, maka yang jadi patokan adalah apa yang ada di hatinya, bukan apa yang ia ucapkan (lafazhkan).

Kekeliruan Sebagian Ulama Syafi’iyah Tentang Anjuran Melafazhkan Niat

Tentang masalah niat letaknya di hati sebenarnya tidak ada beda pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Namun yang aneh adalah sebagian ulama Syafi’iyah belakangan –semoga Allah merahmati mereka-. Mereka mengeluarkan pendapat yang keliru. Kekeliruan mereka ini disebabkan perkataan Imam Syafi’i, “Shalat harus ada pelafalan di awalnya”. Maksud Imam Syafi’i di sini adalah takbir, artinya takbir itu wajib di awal shalat. Namun sebagian ulama Syafi’iyah salah paham. Mereka sangka bahwa yang dimaksud Imam Syafi’i adalah melafazhkan niat. Jadilah mereka keliru dalam hal ini.

Melafazhkan Niat antara Lirih dan Dikeraskan

Para ulama berselisih pendapat, apakah disunnahkan melafazhkan niat dengan suara lirih ataukah dikeraskan. Ada dua pendapat dalam masalah ini di kalangan ahli fiqih. Sekelompok pengikut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat disunnahkannya melafazhkan niat, tujuannya adalah untuk menguatkan maksud.

Sedangkan ulama lainnya, yaitu sekelompok pengikut Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya menyatakan tidak disunnahkan melafazhkan niat. Alasannya, karena hal itu termasuk perkara yang tidak ada landasannya. Melafazhkan niat sama sekali tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak ada contohnhya dari para sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak memerintahkan kepada salah seorang dari umatnya untuk melafazhkan niat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengajarkannya kepada salah seorang dari kaum muslimin. Seandainya melafazhkan niat memang sudah dikenal di masa kenabian dan disyari’atkan, tentu akan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena umat ketika itu melakukan ibadah siang dan malam. Pendapat yang menyatakan melafazhkan niat itu tidak ada tuntunannya, itulah pendapat yang lebih kuat.

Keanehan Anjuran Melafazhkan Niat

Bahkan melafazhkan niat sungguh menunjukkan dangkalnya akal dan agama seseorang. Dari sisi agama, melafazhkan niat adalah suatu ajaran yang tidak ada tuntunannya. Dari sisi akal sehat, contoh melafazhkan niat sebagaimana halnya orang yang hendak makan. Lantas ia berniat, “Saya berniat untuk meletakkan tanganku di piring ini ....[2]” Maka ini semisal dengan ucapan orang melafazhkan niat, “Aku berniat shalat wajib pada saat ini sebanyak empat raka’at secara berjama’ah dikerjakan tepat waktu karena Allah Ta’ala.” Kerjaan seperti melafazhkan niat ketika makan, tentu saja kerjaan orang bodoh dan jahil. Yang namanya niat adalah sampainya ilmu, artinya jika sampai ilmu untuk melakukan sesuatu, maka berarti telah niat secara pasti. Jika seseorang ingin mengerjakan sesuatu, maka secara logika tidak mungkin ia melakukannya tanpa niat. Begitu pula tidak mungkin seseorang yang tidak punya kehendak apa-apa dikatakan telah berniat.

Melafazhkan Niat dengan Dikeraskan

Adapun mengenai melafazhkan niat dengan dikeraskan, sampai berulang kali, maka ini sungguh tidak dianjurkan berdasarkan kesepakatan ulama. Orang yang terbiasa mengeraskan lafazh niatnya, maka pantas ia mendapatkan hukuman agar ia tidak terjerumus lagi dalam amalan keliru yang tanpa tuntunan, agar ia pun tidak menyakiti orang lain. Dalam hadits pun telah disebutkan,

“Wahai sekalian manusia, kalian sungguh sedang bermunajat dengan Rabbnya. Oleh karenanya, janganlah sebagian kalian mengeraskan qiroah (bacaan al Qur’an) kalian di sisi yang lain.”

Bagaimana bisa dibenarkan jika seseorang memberikan was-was pada orang lain dengan lafazh niatnya, padahal itu tidak termasuk qiro’ah (bacaan al Qur’an)?

Bahkan kami katakan bahwa melafazhkan niat seperti mengatakan, “Aku berniat melakukan shalat demikian dan demikian, pada waktu ini dan itu”, ini adalah amalan yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian penjelasan dari Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa yang sengaja penulis bagi dalam point demi point demi memudahkan pembaca.[3]

Bukti dari Ulama Syafi’iyah

Setelah kami buktikan lewat uraian dari Ibnu Taimiyah di atas, kami pun selanjutnya membuktikan dengan perkataan ulama lainnya. Kami akan membawakan perkataan dua ulama besar Syafi’iyah tentang masalah ini. Sungguh aneh jika kita perhatikan dengan seksama praktek pengikut Syafi’iyah saat ini dengan imam mereka.

Ulama pertama, Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah yang masyhur dengan sebutan Imam Nawawi pernah mengatakan dalam salah satu kitabnya,

“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[4] Coba perhatikan baik-baik apa yang beliau utarakan. Letak niat di dalam hati dan tidak perlu dilafazhkan di lisan.

Ulama Syafi’iyah lainnya yang berbicara tentang niat yaitu Asy Syarbini rahimahullah. Beliau mengatakan,

“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[5]

Dikuatkan dengan Ucapan Ibnu Taimiyah

Kedua pendapat ulama Syafi’iyah semakin dikuatkan dengan perkataan Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”[6]

Diambil dari Message Taushiyah

Dzikir dan Syukur

Suatu faedah yang sangat menarik sekali yang kami peroleh setelah mempelajari kitab Al Fawa’id karya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. Faedah ini adalah mengenai dzikir dan syukur.


Agama Itu Dibangun Di Atas Dzikir dan Syukur

Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa agama ini dibangun di atas 2 landasan yaitu dzikir dan syukur. Lantas beliau rahimahullah membawakan firman Allah,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ

“Berdzikirlah pada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah pada-ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqoroh : 152)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda pada Mu’adz, “Demi Allah, aku sungguh mencintaimu. Aku wasiatkan padamu, janganlah engkau lupa untuk mengucapkan pada akhir shalat (sebelum salam):

اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

ALLAHUMMA A’INNI ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBADATIK [Ya Allah, tolonglah aku agar selalu berdzikir/mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud dan Ahmad, shahih)
Itulah beberapa dalil yang menunjukkan bahwa agama ini dibangun dan bisa tegak dengan dzikir dan syukur.

Namun, apa yang dimaksud dengan dzikir?

Apakah cukup dengan mulut yang komat-kamit? Beliau rahimahullah memberi penjelasan yang sangat bagus sekali. Beliau mengatakan bahwa dzikir bukanlah hanya dengan lisan yang komat-kamit. Namun, dzikir yang sebenarnya adalah dengan hadirnya hati disertai ucapan lisan. Dalam dzikir kita juga harus meresapi makna nama dan sifat Allah, mengingat perintah dan larangan-Nya, dan mengingat Allah dengan merenungkan kalamullah yaitu Al Qur’an. Ini semua bisa digapai jika seseorang mengimani nama dan sifat-Nya, serta mengagungkan-Nya, juga memuji-Nya dengan berbagai macam sanjungan. Semua ini bisa digapai jika seseorang bertauhid dengan benar. Dzikir yang hakiki harus terkandung ini semua. Juga dzikir ini haruslah digapai dengan senantiasa mengingat nikmat Allah dan mengingat kebaikan Allah pada makhluk-Nya.

Itulah dzikir yang sebenarnya dan yang semestinya dilakukan setiap muslim.

Lalu apa yang dimaksud dengan syukur?

Syukur adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya dengan rasa cinta lahir maupun batin. Sehingga syukur bukanlah hanya di lisan semata, namun haruslah direalisasikan dalam ketaatan dan amal perbuatan.



Inilah dua perkara yang akan menegakkan agama seseorang.

Dalam dzikir kepada-Nya harus terdapat ma’rifah atau keimanan yang hakiki. Sedangkan dalam syukur harus terdapat ketaatan kepada-Nya.

Kedua perkara inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia, juga langit dan bumi. Dengan dua hal ini baru akan ada pahala dan hukuman, juga sebab diturunkannya kitab suci dan para rasul.

Dalam berbagai ayat disebutkan bahwa tujuan penciptaan makhluk adalah agar kita senantiasa berdzikir (mengingat-Nya) dengan iman, dan juga bersyukur kepada-Nya dengan melakukan ketaatan. Tujuan penciptaan bukanlah untuk melupakan-Nya dan mengufuri-Nya. Ingatlah, Allah akan senantiasa mengingat hamba-Nya jika mereka selalu berdzikir pada-Nya, juga akan senantiasa mensyukuri hamba-Nya, jika mereka bersyukur pada-Nya.

Dzikir adalah sebab Allah mengingat hamba-Nya dan syukur adalah sebab Allah akan selalu menambah nikmat dan karunia.

Dzikir dilakukan dengan lisan dan hati. Sedangkan syukur dilakukan dengan rasa cinta dalam hati, pujian dalam lisan, dan melakukan ketaatan dengan anggota badan.

Semoga Allah membalas kebaikan Ibnul Qoyyim karena telah menyampaikan faedah yang berharga ini. Semoga kita termasuk orang-orang yg mengingat dan bersyukur pada-Nya. AMIN …

Faedah Ilmu disusun di pagi hari yang penuh berkah, 9 Dzulqo’dah 1429, di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul



Muhammad Abduh Tuasikal

Dikutip dari : Message Taushiyah (Facebook)