Minggu, 01 Agustus 2010

Niat Cukup dalam hati

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu wa ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Di tengah masyarakat muslim di negeri ini, sudah sangat ma’ruf perihal melafazhkan niat. Inilah ajaran yang sudah turun temurun diajarkan dan mendarah daging di tubuh umat. Silakan saja kita menoleh pada keseharian ibadah shalat, ada niat yang dilafazhkan semacam “usholli fardhu shubhi ...”. Begitu pula halnya dalam hal ibadah puasa, ada niat yang dilafazhkan semacam “nawaitu shouma ghodin”. Namun sudahkah kita meninjau kembali tentang ajaran dari pak kyai atau pak ustadz ini? Seperti inikah yang diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dalam setiap ibadah selain ikhlas lillahi Ta’ala, kita pun harus senantiasa mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Risalah singkat ini mudah-mudahan dapat membuka pikiran para pembaca rumayhso.com sekalian, apakah sudah benar praktek-praktek ibadah yang dilakukan selama ini. Semoga Allah memberi taufik.

Memang Niat Syarat Diterimanya Ibadah

Niat merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[1]

Selanjutnya kita akan melihat penjelasan Ibnu Taimiyah mengenai niat. Sengaja penulis bagi bertahap dalam beberapa point.

Kata Sepakat Ulama, Niat Cukup dalam Hati

Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya mengenai niat di awal berbagai ibadah seperti ketika mengawali shalat dan ibadah lainnya. Apakah niat ketika itu harus diucapkan di lisan semisal dengan ucapan “nawaitu ashumu” (saya berniat untuk puasa), atau “usholli” (saya berniat untuk shalat)? Apakah seperti itu wajib dilakukan?

Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah. Niat thoharoh (bersuci) seperti akan berwudhu, mandi, tayamum, niat shalat, puasa, haji dan zakat, menunaikan kafaroh, serta berbagai ibadah lainnya, niat tersebut tidak perlu dilafazhkan. Bahkan yang benar, letak niat adalah di hati dan bukan di lisan, inilah yang disepakati para ulama. Seandainya seseorang salah mengucapkan niat lewat lisannya, lalu berbeda dengan apa yang ada di hatinya, maka yang jadi patokan adalah apa yang ada di hatinya, bukan apa yang ia ucapkan (lafazhkan).

Kekeliruan Sebagian Ulama Syafi’iyah Tentang Anjuran Melafazhkan Niat

Tentang masalah niat letaknya di hati sebenarnya tidak ada beda pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Namun yang aneh adalah sebagian ulama Syafi’iyah belakangan –semoga Allah merahmati mereka-. Mereka mengeluarkan pendapat yang keliru. Kekeliruan mereka ini disebabkan perkataan Imam Syafi’i, “Shalat harus ada pelafalan di awalnya”. Maksud Imam Syafi’i di sini adalah takbir, artinya takbir itu wajib di awal shalat. Namun sebagian ulama Syafi’iyah salah paham. Mereka sangka bahwa yang dimaksud Imam Syafi’i adalah melafazhkan niat. Jadilah mereka keliru dalam hal ini.

Melafazhkan Niat antara Lirih dan Dikeraskan

Para ulama berselisih pendapat, apakah disunnahkan melafazhkan niat dengan suara lirih ataukah dikeraskan. Ada dua pendapat dalam masalah ini di kalangan ahli fiqih. Sekelompok pengikut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat disunnahkannya melafazhkan niat, tujuannya adalah untuk menguatkan maksud.

Sedangkan ulama lainnya, yaitu sekelompok pengikut Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya menyatakan tidak disunnahkan melafazhkan niat. Alasannya, karena hal itu termasuk perkara yang tidak ada landasannya. Melafazhkan niat sama sekali tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak ada contohnhya dari para sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak memerintahkan kepada salah seorang dari umatnya untuk melafazhkan niat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengajarkannya kepada salah seorang dari kaum muslimin. Seandainya melafazhkan niat memang sudah dikenal di masa kenabian dan disyari’atkan, tentu akan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena umat ketika itu melakukan ibadah siang dan malam. Pendapat yang menyatakan melafazhkan niat itu tidak ada tuntunannya, itulah pendapat yang lebih kuat.

Keanehan Anjuran Melafazhkan Niat

Bahkan melafazhkan niat sungguh menunjukkan dangkalnya akal dan agama seseorang. Dari sisi agama, melafazhkan niat adalah suatu ajaran yang tidak ada tuntunannya. Dari sisi akal sehat, contoh melafazhkan niat sebagaimana halnya orang yang hendak makan. Lantas ia berniat, “Saya berniat untuk meletakkan tanganku di piring ini ....[2]” Maka ini semisal dengan ucapan orang melafazhkan niat, “Aku berniat shalat wajib pada saat ini sebanyak empat raka’at secara berjama’ah dikerjakan tepat waktu karena Allah Ta’ala.” Kerjaan seperti melafazhkan niat ketika makan, tentu saja kerjaan orang bodoh dan jahil. Yang namanya niat adalah sampainya ilmu, artinya jika sampai ilmu untuk melakukan sesuatu, maka berarti telah niat secara pasti. Jika seseorang ingin mengerjakan sesuatu, maka secara logika tidak mungkin ia melakukannya tanpa niat. Begitu pula tidak mungkin seseorang yang tidak punya kehendak apa-apa dikatakan telah berniat.

Melafazhkan Niat dengan Dikeraskan

Adapun mengenai melafazhkan niat dengan dikeraskan, sampai berulang kali, maka ini sungguh tidak dianjurkan berdasarkan kesepakatan ulama. Orang yang terbiasa mengeraskan lafazh niatnya, maka pantas ia mendapatkan hukuman agar ia tidak terjerumus lagi dalam amalan keliru yang tanpa tuntunan, agar ia pun tidak menyakiti orang lain. Dalam hadits pun telah disebutkan,

“Wahai sekalian manusia, kalian sungguh sedang bermunajat dengan Rabbnya. Oleh karenanya, janganlah sebagian kalian mengeraskan qiroah (bacaan al Qur’an) kalian di sisi yang lain.”

Bagaimana bisa dibenarkan jika seseorang memberikan was-was pada orang lain dengan lafazh niatnya, padahal itu tidak termasuk qiro’ah (bacaan al Qur’an)?

Bahkan kami katakan bahwa melafazhkan niat seperti mengatakan, “Aku berniat melakukan shalat demikian dan demikian, pada waktu ini dan itu”, ini adalah amalan yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian penjelasan dari Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa yang sengaja penulis bagi dalam point demi point demi memudahkan pembaca.[3]

Bukti dari Ulama Syafi’iyah

Setelah kami buktikan lewat uraian dari Ibnu Taimiyah di atas, kami pun selanjutnya membuktikan dengan perkataan ulama lainnya. Kami akan membawakan perkataan dua ulama besar Syafi’iyah tentang masalah ini. Sungguh aneh jika kita perhatikan dengan seksama praktek pengikut Syafi’iyah saat ini dengan imam mereka.

Ulama pertama, Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah yang masyhur dengan sebutan Imam Nawawi pernah mengatakan dalam salah satu kitabnya,

“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[4] Coba perhatikan baik-baik apa yang beliau utarakan. Letak niat di dalam hati dan tidak perlu dilafazhkan di lisan.

Ulama Syafi’iyah lainnya yang berbicara tentang niat yaitu Asy Syarbini rahimahullah. Beliau mengatakan,

“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[5]

Dikuatkan dengan Ucapan Ibnu Taimiyah

Kedua pendapat ulama Syafi’iyah semakin dikuatkan dengan perkataan Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”[6]

Diambil dari Message Taushiyah

Dzikir dan Syukur

Suatu faedah yang sangat menarik sekali yang kami peroleh setelah mempelajari kitab Al Fawa’id karya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. Faedah ini adalah mengenai dzikir dan syukur.


Agama Itu Dibangun Di Atas Dzikir dan Syukur

Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa agama ini dibangun di atas 2 landasan yaitu dzikir dan syukur. Lantas beliau rahimahullah membawakan firman Allah,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ

“Berdzikirlah pada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah pada-ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqoroh : 152)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda pada Mu’adz, “Demi Allah, aku sungguh mencintaimu. Aku wasiatkan padamu, janganlah engkau lupa untuk mengucapkan pada akhir shalat (sebelum salam):

اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

ALLAHUMMA A’INNI ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBADATIK [Ya Allah, tolonglah aku agar selalu berdzikir/mengingat-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud dan Ahmad, shahih)
Itulah beberapa dalil yang menunjukkan bahwa agama ini dibangun dan bisa tegak dengan dzikir dan syukur.

Namun, apa yang dimaksud dengan dzikir?

Apakah cukup dengan mulut yang komat-kamit? Beliau rahimahullah memberi penjelasan yang sangat bagus sekali. Beliau mengatakan bahwa dzikir bukanlah hanya dengan lisan yang komat-kamit. Namun, dzikir yang sebenarnya adalah dengan hadirnya hati disertai ucapan lisan. Dalam dzikir kita juga harus meresapi makna nama dan sifat Allah, mengingat perintah dan larangan-Nya, dan mengingat Allah dengan merenungkan kalamullah yaitu Al Qur’an. Ini semua bisa digapai jika seseorang mengimani nama dan sifat-Nya, serta mengagungkan-Nya, juga memuji-Nya dengan berbagai macam sanjungan. Semua ini bisa digapai jika seseorang bertauhid dengan benar. Dzikir yang hakiki harus terkandung ini semua. Juga dzikir ini haruslah digapai dengan senantiasa mengingat nikmat Allah dan mengingat kebaikan Allah pada makhluk-Nya.

Itulah dzikir yang sebenarnya dan yang semestinya dilakukan setiap muslim.

Lalu apa yang dimaksud dengan syukur?

Syukur adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya dengan rasa cinta lahir maupun batin. Sehingga syukur bukanlah hanya di lisan semata, namun haruslah direalisasikan dalam ketaatan dan amal perbuatan.



Inilah dua perkara yang akan menegakkan agama seseorang.

Dalam dzikir kepada-Nya harus terdapat ma’rifah atau keimanan yang hakiki. Sedangkan dalam syukur harus terdapat ketaatan kepada-Nya.

Kedua perkara inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia, juga langit dan bumi. Dengan dua hal ini baru akan ada pahala dan hukuman, juga sebab diturunkannya kitab suci dan para rasul.

Dalam berbagai ayat disebutkan bahwa tujuan penciptaan makhluk adalah agar kita senantiasa berdzikir (mengingat-Nya) dengan iman, dan juga bersyukur kepada-Nya dengan melakukan ketaatan. Tujuan penciptaan bukanlah untuk melupakan-Nya dan mengufuri-Nya. Ingatlah, Allah akan senantiasa mengingat hamba-Nya jika mereka selalu berdzikir pada-Nya, juga akan senantiasa mensyukuri hamba-Nya, jika mereka bersyukur pada-Nya.

Dzikir adalah sebab Allah mengingat hamba-Nya dan syukur adalah sebab Allah akan selalu menambah nikmat dan karunia.

Dzikir dilakukan dengan lisan dan hati. Sedangkan syukur dilakukan dengan rasa cinta dalam hati, pujian dalam lisan, dan melakukan ketaatan dengan anggota badan.

Semoga Allah membalas kebaikan Ibnul Qoyyim karena telah menyampaikan faedah yang berharga ini. Semoga kita termasuk orang-orang yg mengingat dan bersyukur pada-Nya. AMIN …

Faedah Ilmu disusun di pagi hari yang penuh berkah, 9 Dzulqo’dah 1429, di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul



Muhammad Abduh Tuasikal

Dikutip dari : Message Taushiyah (Facebook)